Untuk mengatasi tantangan geografis Indonesia, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengandalkan strategi tiga Skema Penyaluran utama: Sentra Dapur Lokal (SDL), penyedia jasa catering, dan bantuan gizi langsung (ready to eat). Keragaman model ini penting untuk memastikan MBG dapat beradaptasi dengan kondisi spesifik setiap daerah, terutama yang berada di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T).
SDL adalah model yang paling ideal untuk memberdayakan ekonomi lokal dan menjamin makanan segar. Dapur ini dioperasikan oleh komunitas atau UMKM setempat. Namun, di daerah terpencil dengan infrastruktur minim, pendirian SDL menjadi sulit. Oleh karena itu, Skema Penyaluran ini lebih efektif di daerah perkotaan atau pedesaan yang memiliki akses listrik dan air bersih memadai.
Model penyedia jasa catering digunakan untuk efisiensi skala besar di daerah padat penduduk. Kontraktor catering memastikan konsistensi dan higienitas makanan, namun seringkali kurang fleksibel dalam menyesuaikan menu dengan kearifan lokal. Skema Penyaluran ini membutuhkan pengawasan ketat agar biaya logistik yang tinggi tidak mengorbankan kualitas nutrisi makanan yang disajikan kepada anak anak.
Untuk daerah 3T yang benar benar terisolasi, bantuan gizi langsung (ready to eat) atau dalam bentuk paket bahan kering adalah Skema Penyaluran yang paling realistis. Meskipun praktis, tantangannya adalah memastikan kandungan gizi setara dengan makanan segar dan menghindari penggunaan makanan ultra proses. Gizi yang diberikan harus tetap tinggi protein untuk mengatasi stunting secara efektif.
Efektivitas MBG di daerah terpencil sangat bergantung pada integrasi ketiga skema ini. BGN harus fleksibel dan mampu mengombinasikan model, misalnya menggunakan SDL di pusat kecamatan, sementara bantuan langsung menjangkau desa desa yang sulit diakses. Fleksibilitas ini adalah kunci keberhasilan program.
Tantangan logistik ekstrem di daerah terpencil, seperti Papua atau pulau pulau kecil, menuntut adanya alokasi anggaran khusus untuk transportasi. Tanpa dukungan logistik yang memadai, bahkan Skema Penyaluran terbaik pun akan gagal menjamin ketepatan waktu dan kualitas makanan saat diterima anak anak.
Data yang akurat mengenai infrastruktur dan kondisi geografis setiap wilayah adalah prasyarat. Penentuan model penyaluran harus berbasis data lapangan yang valid, bukan asumsi. Ini akan meminimalkan pemborosan anggaran dan memastikan intervensi gizi tepat sasaran.
Pada akhirnya, strategi tiga skema MBG menunjukkan bahwa pemerintah berupaya maksimal. Keberhasilan program ini akan menjadi tolok ukur komitmen negara dalam mewujudkan keadilan gizi dan menyiapkan Generasi Emas 2045 yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
